THE BLOODY SEVENTEEN “Young Blood”

Hilmy Fadiansyah
3 min readMay 27, 2021

--

Kekeliruan terbesar dari umat manusia adalah bagaimana mereka mengkategorikan setiap babak menjadi kelas yang berbeda-beda, memaksa kita untuk menyepakati apa yang sudah dicetak oleh pendapat terbanyak dari koloni manusia. Sebagian besar orang akan berlaga layaknya dewa ketika suara mereka ditopang oleh dominasi mayoritas, pun sebaliknya, orang-orang akan merasa kalah dan terpuruk jika peran mereka dianggap tak berguna. Struktur masyarakatlah yang menempatkan kategori kelas sebagai sesuatu yang sakit, menuntut untuk saling memojokkan.

Hal tersebut telah menjadi antinomi di kehidupan bersosial, kita seperti tak diberi waktu untuk memilih jalan mana yang ingin kita lalui. Satu sisi kita dihadapkan kepada para kalangan penakluk dunia dengan menyembah jargon will to power, disisi lain ada suguhan masyarakat yang tak peduli dengan pijakan kebenaran apapun.

Apakah hidup hanya selesai di persoalan tersebut? Tentu tidak. Menang atau kalah bukan akhir dari segalanya, sebuah pertarungan dapat diawali dan diakhiri dengan berbagai cara. Mendobrak batas dari konstruksi sosial yang sudah lama diciptakan.

Pilihan menjalani kehidupan milik seseorang adalah hak teristimewa, terlepas dari belenggu apapun. Dengan atau tanpa diakui, manusia adalah pemimpin bagi dirinya sendiri.

***

Hari ini, Maternal Disaster merayakan hari lahirnya, waktu dimana semua awal perjuangan dimulai, sampai saat ini tepat di angka tujuh belas, sebuah angka sakral jika diibaratkan dalam wujud pertumbuhan manusia. Gerbang awal menuju pemilihan sikap dalam tanggung jawab, benar dan salah urusan belakang, tetapi lintasan seperti apa yang akan ditempuh, itulah yang harus dituju.

Mengusung tema “Young Blood” untuk pameran pada perayaan ini, Maternal Disaster selaku penggagas merangkul 17 seniman dengan latar belakang dan karakter visual yang beragam sebagai pemeran dalam ekshibisi kali ini.

Pemilihan tema ini diadaptasi dari semangat perjalanan yang tak hanya ditempuh dengan sukacita, tetapi terdapat keringat dan darah yang menetes mengiringi petualangan tersebut. Angka panjang untuk sebuah ruang yang luar biasa, dan suatu angka untuk memulai tahapan baru bagi manusia. Kembali melihat bahwa satu etos tak dapat dinilai dari satu, bahkan dua sisi, tetapi banyak hal yang mendampingi.

Ke-tujuh belas seniman yang berpartisipasi menyuguhkan wahana visual hasil dari representasi atas tema dan semangat yang diusung, masing-masing memiliki wacana yang beragam pada setiap karyanya. Bagaimana setiap seniman menyampaikan wacana atas pembacaan gejolak pada titik “gerbang awal” dengan jalannya sendiri.

Dalam batasan media kanvas dengan diameter 1m-1m dan brain sclupture yang mesti direspon oleh setiap seniman, membuat pengembangan dari “Young Blood” menjadi panggung untuk penafsiran wacana tersebut. Para seniman menyampaikan hasil dari introspeksi perjalanan melewati “gerbang”, menjadi sebuah karya yang mewakili personal masing-masing.

Dari batasan-batasan yang tertera, kita mengetahui bahwa penyelesaian memiliki banyak preferensi. Keberhasilan mendobrak batasan yang sejatinya telah dikultuskan oleh masyarakat yang sehari-hari menjadi bagian dari hidup kita, membuktikan bahwa diantara si ‘benar dan salah’ masih bertaburan pemeran lain yang sama pentingnya.

***

Kita semua memiliki rasa takut, marah, dan kecewa akan banyak hal. Dan yang mengerikan dari itu semua adalah hidup terus berjalan seperti biasa meski tanpa kita ikut serta di dalamnya. Kita mesti tahu bahwa roda hidup terus berputar, orang-orang masih sibuk mengejar mimpinya. Kota yang kita kutuk masih bergerak sebagaimana mestinya: semerawut dan memuakkan. Semua kawan dan musuhmu masih memerankan lakon dan perannya masing-masing, meski tanpa kehadiran kita.

Menjadi berbeda bukan berarti kita terlahir sebagai sosok yang asing, tanah petak berukuran 1x2 meter sama-sama menanti. Saya percaya bahwa gerakan melawan batas adalah sebuah antidot dari kebosanan, yaitu kebosanan yang muncul dari hasil hidup yang terus berjalan seperti biasanya. “Dangerous Young Blood” bukan sekedar kata-kata usang, tetapi zat yang bertugas sebagai penawar racun.

Ketimbang sekadar menjadi ‘rebel without a cause’, terjebak dalam lingkaran ketidakpastian hidup yang terus kita laknat dalam sumpah serapah. Menjadi ‘nakal’ dan ‘gila’ terasa lebih waras untuk dijalani. Karena di dunia yang gila, dimana semua orang menolak untuk dilabeli gila, justru si ‘gila’ lah yang waras.

Bersamaan dengan hadirnya pameran yang digawangi oleh 17 seniman ini, saya merasa terobati dengan laburnya pendefinisian pada sesuatu. Membuka ruang baru dalam mengartikan ulang sebuah perjalanan menemani sang angka sakral. The bloody seventeen, with a letters from heaven and hell. Along the dangerous young blood are taking over.

--

--