Merayakan Kekalahan

Hilmy Fadiansyah
4 min readSep 25, 2023

Hari dimana semua dipertemukan oleh nasib yang ditentukan manusia, langkah yang lambat, amat berat. Dengan tangan dan kaki terikat besi, dikawal pasukan yang siap menebas bila kemungkinan melarikan diri masih ada. Teriakan rakyat Inggris yang menyaksikan hari besar, cacian, tawa dan hujatan terus dilontarkan. Ragnar, sang Raja dari Norwegia akan dieksekusi mati oleh kerajaan Inggris. Dendam yang harus dibayar akibat rentetan perang panjang antara bangsa Viking dan pasukan Inggris.

Dalam lubang yang sudah dipenuhi ular, siap menerjang siapapun yang terjatuh ke dalamnya. Ragnar yang sudah disimpan dalam jeruji besi di atas lubang tersebut, hanya bisa pasrah dan menunggu waktu kapan sangkar tersebut dilepas kunci sampai ia masuk dalam lubang ular. Namun, tak ada sedikitpun ketakutan pada raut wajahnya, ia hanya tertawa melihat arogannya raja Inggris yang berada persis di sisi panggung eksekusi. Kematian sudah didepan mata, para ular siap menancapkan taring berbisanya pada tubuh Ragnar, dan ia masih tersenyum seraya mengingat kembali masa lalu, keonaran yang ia perbuat, penjarahan ke berbagai negara bersama pasukan Viking kebanggaannya dan tersenyum untuk merayakan binatang yang pada akhirnya habis oleh binatang juga. Tak ada penyesalan sedikitpun.

Saat kunci kerangkeng dibuka, jatuhnya Ragnar ke dalam lubang kematiannya, ia tetap tersenyum, merasakan lilitan dan gigitan ular yang menyambar tubuhnya. Matanya tajam melihat keatas, menandai bahwa kematian adalah ritus yang harus dinikmati. Sang Raja Inggris yang melihat Ragnar begitu tak peduli akan eksekusi yang dilakukannya, terbalik menjadi semakin kesal, menyadari musibah besar akan datang menghampirinya. Tatapan tajam dan senyuman di akhir hidupnya adalah puncak dari pesta seorang manusia, dan Ragnar melakukan itu.

***

Manusia, dengan segala keragaman dan kompleksitas hidupnya, hanya bisa bersandar pada nasib apa yang akan terjadi dan tak bisa mengatur itu semua. Segala riuh aktivitas yang setiap hari dijalankan, sudah tentu sadar akan banyak hal yang tak bisa dikontrol oleh mereka. Peristiwa yang datang tiba-tiba tanpa persiapan apapun, telah banyak mengganjal rutinitas yang sudah ditata rapi, menghambat hal-hal yang seharusnya berjalan mulus sesuai harapan. Tapi bagaimanapun kuasa manusia terbatas, oleh banyak hal, apapun rencananya, apapun profesinya.

Tak terkecuali seorang musisi, yang pada dasarnya adalah kumpulan orang bersenang-senang. Melihat mereka seperti hidup tanpa beban, menarik diri dari penatnya hidup dan lari bersorak mengeluarkan kemampuan mereka. Mengerjakan apa yang mereka suka, tampil didepan banyak orang, menerjemahkan dengan nyata dari celoteh “bekerja sesuai passion”. Namun kembali lagi, dibalik “hidup senang tanpa beban” yang terlihat, banyak sekali ketidaktahuan akan sulitnya mengerjakan hal tersebut. Senaif dengan kalimat mereka juga manusia, memiliki titik jenuh dan lelah atas apa yang dikerjakannya, selaras dengan aktivitas yang butuh tanggung jawab besar. Dan ternyata memang semua pekerjaan sama, mau berkerah atau tidak, dibalik meja atau lapangan, pada akhirnya akan datang waktu saat perahu yang dinaungi itu karam.

20 November 2020, kata “karam” hadir dengan wujud yang lain. Salah satu unit punk, Wreck, merilis sebuah lagu dengan judul tersebut. 4 tahun absen dari lagu terakhir yang dirilis berjudul “O’ Heaven, I am Bored”, Wreck hadir kembali setelah ditagih dan didesak dari sana-sini lewat “Karam”. Satu waktu, Acil sang pemegang mic dan penulis lirik mengutarakan bahwa lagu tersebut didedikasikan untuk mereka — Wreck— yang semua anggota grup nya memiliki rutinitas wajib sehari-hari, dan bermain musik adalah “pelarian” dari lelahnya dikejar deadline atau tuntutan klien yang membuat kepala panas.

Mudah terbuai tenangnya malam, namun jangkar karat ku hampir saja karam.

Sebuah penggalan lirik dari lagu “Karam”, menyiratkan pesan bahwa mereka sadar bahwa sebagai makhluk yang berakal, pekerjaan yang mesti dilakukan adalah sebuah tuntutan, menjaga diri agar tetap berputar pada roda kehidupan. Setelah habis bergelut dengan itu semua, tenaga terkuras. Jangankan mengerjakan aktivitas lain, untuk memikirkannya saja rasanya sudah naik asam di lambung. Tetapi sebagai makhluk yang berakal pun mereka sadar bahwa ada hal yang belum selesai, ada semangat yang harus disalurkan. Kembali berjalan dengan segala resikonya adalah satu-satunya cara untuk menyelesaikan itu semua.

Legenda urban yang mengatakan bahwa hanya adzan Maghrib yang dapat menghentikan anak-anak bermain bola adalah bukti nyata bahwa ada dasar lain dari manusia, yaitu sebagai makhluk yang bersenang-senang. Usaha nyata yang tanpa sadar melakukan itu semua dengan melepaskan segala atribut sebelumnya, mau berasal dari mana atau keturunan siapa, ketika di lapangan tujuan mereka sama: untuk menang dan bersenang-senang. Wreck pun sama, lewat curahan dalam lagu “Karam”, mereka berusaha untuk menjaga marwah menjadi manusia yang seutuhnya, berakal dan bersenang-senang. Anggapan bahwa “bekerja sesuai passion”, tidak mengedepankan materi, atau apapun itu yang banyak terdengar di masyarakat ternyata telah banyak yang melakukannya, termasuk Wreck.

Bait Biarkan tentram meredam sesak // Lalu lenyap ditelan badai adalah penegasan bahwa mengartikan hidup dapat dilakukan dengan cara apapun, dengan segala tanggung jawab dan resikonya.

Menarik cerita diawal, Ragnar, seorang Viking sejati telah menyelesaikan hidup dengan cara tersebut. Ribuan kilometer telah diarunginya diatas kapal rakitan Sang Pandai Kayu, Loki. Ragnar bersama pasukannya menjalankan “pekerjaan” sebagai Viking, mengitari lautan mencari pulau dan kehidupan di sebrang yang lain. Akhir hidup seorang Ragnar pun tidak sama sekali dalam keadaan menyerah, ia digiring ke sarang ular dengan segudang kebahagiaan yang telah ia capai. Kapal kebanggaannya akhirnya karam, merayakan kekalahan dengan cara yang sejati.

Wreck, pada akhirnya, akan selalu melaksanakan itu semua. Mereka tetap tak akan tega meninggalkan kesenangan bermain musik di rak yang usang, mereka akan mempertahankan dengan erat melawan rasa muak dan lelah. Ketimbang membiarkan “kapal” mereka digerogoti dalam gelap, yang hanya sesekali menyembul ke permukaan, membiarkannya karam jelas bukan pilihan yang bijak. Toh semua itu bisa dilawan, sekalipun yang dapat ditawarkan hanya penundaan lambat yang berkepanjangan.

Untuk Wreck, catatan kecil dari seorang kawan.

--

--