Menanggapi Catatan Taufik Rahman dalam Buku “This Album Could Be Your Life: 50 Album Musik Terbaik Indonesia 1955–2015”

Hilmy Fadiansyah
6 min readMay 1, 2021

--

“Silahkan membaca dan silahkan berpolemik!”

Kalimat terakhir yang ditulis oleh Taufiq Rahman dalam tulisan pengantar buku terbitan Elevation Books yaitu This Album Could Be Your Life: 50 Album Musik Terbaik Indonesia 1955–2015. Pertama saya ingin mengucapkan terima kasih karena mempersilahkan saya sebagai pembaca- untuk dapat berkomentar lebih jauh mengenai buku tersebut, Taufiq Rahman membuka gerbangnya agar diskusi mengenai pemilihan album dalam buku itu tak berhenti oleh kelima penulis.

Dari kebanyakan pemilihan mengenai “siapa yang terbaik” acap kali mendapat polemik dari publik, soal ketidaksetujuan atau mengapa satu materi lebih baik dari materi lain. Dalam buku yang ditulis oleh kolaborasi dari lima penulis yang memang mempunyai latar belakang pengetahuan musik yang sangat baik, melalui proses kurasi padat.

Taufiq Rahman, Harlan Boer, Idhar Resmadi, Samack dan Wahyu Nugroho sadar bahwa daftar yang mereka buat tak akan menyenangkan semua kalangan, bahkan kebih jauh, menimbulkan perdebatan. Akan tetapi, upaya mereka dalam mengkatalogisasikan musik populer Indonesia sangat layak diapresiasi. Bayangkan, dari ratusan ribu materi, mereka harus memilih -hanya- 50 album yang menurut mereka layak dinobatan sebagai album terbaik dalam 5 dekade (1955–2015). Dengan catatan, diurutkan.

Saya, atau kami, tidak akan mendebat soal pemilihan album-album terpilih yang ada dalam buku, semua sepakat. Terlepas dari peringkat klasemen album yang diurutkan oleh para penulis, tak menjadi masalah, toh itu hanya angka, bukan soal lomba.

Namun, berangkat dari kalimat awal, yaitu “Silahkan membaca dan silahkan berpolemik!”, kami rasa seharusnya ada beberapa album yang sangat layak untuk masuk dalam daftar tersebut, yang tak dimasukan oleh penulis. Diatas meja redaksi, kami memilih album-album yang patut masuk daftar album terbaik pada rentang waktu lima dekade tersebut. Disini kami memiliki enam jagoan yang akan masukan sebagai respon dari tantangan Taufiq Rahman.

1. Peterpan — Taman Langit

Ilham terbaik yang turun di dunia musik pada abad ke-20 yaitu hadirnya Peterpan, mereka adalah penanda zaman bahwa musik pop Indonesia setidaknya memiliki harapan akan masa depan yang tak terlalu mengecewakan. Tahun 2003, Ariel dan kawan-kawan menebar bunga mereka dengan merilis album Taman Langit, album perdana Peterpan.

Disaat Sheila on 7 menjadi raja pop Indonesia dan Dewa 19 masih eksis dengan album Bintang Lima bersama Once, sang vokalis baru. Peterpan memberi hawa segar keluarnya album Taman Langit.

Walaupun mereka terdengar masih meraba-raba dengan alunan musik yang akan dibawa ke arah mana, juga banyak pihak yang menyebut bahwa masterpiece pertama Peterpan adalah album Bintang di Surga. Tetapi Taman Langit-lah yang jembatan yang membawa mereka sampai titik sekarang, salah satu grup musik dengan biaya sewa termahal di Indonesia.

Ariel memiliki keahlian khas dalam meramu lirik, salah satu penulis lirik populer terbaik di Indonesia. Tinggalkan rasa kemiripan mereka dengan musik a la pop-Inggris dan gaya Seattle, pada umur 20an awal, ia dan kawan-kawan Peterpan dapat meramu musik pop baru disini. Dan kunci terakhir dari nyawa musik Peterpan adalah sentuhan gitar dari Lukman, tidak dominan, bukan ­melody-man seperti Dewa Budjana, tetapi riff yang disajikan Lukman dalam lagu-lagu Peterpan tak berlebihan, sangat tahu batasan dan itulah karya terbaiknya.

Hampir 20 tahun berkarir dan menjadi patron band dengan kualitas produksi yang sangat baik disini, semua berawal dari album Taman Langit.

2. Koil — Blacklight

Setelah Koes Plus, Godbless dan Shark Move mengenalkan musik tak lazim yang setelahnya menjadi populer di Indonesia, pada tahun 90an awal hadir berandalan dari Bandung yang mengadopsi musik “tak lazim”. Koil mendobrak gaya bermain musik yang pada saat itu didominasi oleh hardcore, punk dan metal. Sentuhan elektronik yang mengingatkan kita akan ajaibnya Tool dan Nine Inch Nails dapat dinikmati melalui band lokal, dan tentu saja, setelah bertahun-tahun berkarir, muncul album Blacklight, mahakarya Otong bersama rekan Koil lainnya.

Kejeniusan Otong, ditopang bersama Donny dan Adam dalam memproduksi musik mereka selalu berakhir dengan sempurna. Tengok lagu “Dan Cinta Kita Terlupakan” pada detik 2:56, setelah vokal Otong berhenti, hadir instrumen megah yang berasal dari tumpukan instrumen yang diciptakan Koil. Tak perlu riff atau umum disebut melodi gitar rumit, cukup beberapa detik untuk kita merasa bahwa lagu ini berada di level yang berbeda.

Walau Otong selalu menyangkal bawa Koil bukan band dengan genre Industrial Musik, tetapi racikan musik Koil, terlebih pada album Blacklight mengingatkan saya terhadap album Killing Joke “Killing Joke” yang rilis di tahun 2003. Album Blacklight membuktikan bahwa popularitas genre bawah tanah bisa mencapai cakupan nasional.

Dibalik tingkah laku Otong yang melewati manusia pada umumnya, itu semua selaras dengan semua musik yang ia ciptakan. Dan saya dapat menjamin bahwa album Blacklight adalah salah satu album dengan lirik bertema cinta yang paling romantis di Indonesia.

3. Sirkus Barock — Anak Setan

Jauh sebelum bergabung dengan super grup Kantata Takwa, Sawung Jabo, seperti halnya personil Kantata Takwa yang lain, telah malang melintang di industri musik Indonesia. Sawung Jabo bersama Sirkus Barocknya telah menciptakan beberapa album, salah satunya berjudul Anak Setan. Khas musisi atau grup musik zaman terkait, pemilihan judul album selalu tegas dan terkesan eksplisit, sangat berani.

Pria kelahiran Surabaya, yang menjadi pentolan Sirkus Barock, Sawung Jabo, adalah seorang seniman mullti disiplin. Selain musisi, aktivitasnya merangkap juga sebagai aktor dan pemeran teater. Aktivis pada zamannya, membuat Sawung jabo mendeklarasikan musik balada yang diusungnya menjadi panggung untuk ia dapat liar dalam menuturkan apa yang diresahkan, dan album Anak Setan adalah representasi dari seorang Sawung Jabo.

Dalam album yang tak hanya berisi musik khas balada yang ia ciptakan, terdapat beberapa puisi yang di musikalisasi olehnya, dan tentu saja proses ini terbawa sampai proyek besar setelahnya, pada Swami dan Kantata Takwa.

Album Anak Setan mungkin tak setenar album Badut atau Anak Wayang, namun album ini menjadi salah satu akar dari musik balada yang tak hanya tercipta sentris di Jakarta, Bandung atau Yogyakarta.

“Semua menjadi asing, semua menjadi asing”, sang Anak Setan bersabda.

4. Pas Band — In(No) Sensation

Dalam isi daftar album terbaik pada buku This Album Could Be Your Life, terdapat album Pure Saturday yang diulas oleh Idhar Resmadi. Sebagai penanda awal band independen Bandung, tak sah jika tidak memasukan album Perdana Pas Band yang bertajuk In(No) Sensation. Dan ini menjadi satu-satunya album bagus -dan terbaik- dari Pas Band.

Kental dengan bumbu dari Faith No More dan The Police, Pas Band menguji album ini sebagai salah satu album Hard-Rock terbaik sampai hari ini. Selain lagu “Impresi” yang masih menjadi anthem Pas Band hingga kini, lagu macam “Why We Have”, “Fountain” dan “Konsepsi” masih menarik menjadi lagu rock klasik yang relevan diputar sampai sekarang.

Jika ada anekdot “Jika album perdana sangat baik dan menurun di album setelahnya”, ini sangat berlaku bagi Pas Band, apalagi semenjak masuknya Sandy menggantikan Richard di posisi penggebuk drum, dan berlebihannya bem-beng dalam memainkan gitar.

Tapi terlepas dari itu semua, catatan emas tetap tertulis pada album In(No) Sensation milik mereka sebagai album yang layak masuk 50 album terbaik Indonesia di dekade tersebut.

5. The Brandals — Audio Imperialist

Taufiq Rahman menulis The Strokes sebagai band rock penanda awal milenium dalam buku New Dawn Fades, dekade tahun 2000 awal di Indonesia memiliki The Brandals dengan Audio Imperialist yang rilis pada tahun 2005. Hadirnya album ini cukup mengherankan jika tidak layak masuk dalam daftar buku terbitan Elevation tersebut. Jika Taufiq Rahman menulis dalam pengantar buku apakah The Upstairs tidak masuk akan terjadi polemik, lebih memungkinkan terjadinya polemik bila album The Brandals ini yang tidak masuk.

Selain David Tarigan, Eka Annash adalah bank musik langka yang dimiliki skena lokal, pengetahuan dan referensinya akan musik sangat kuar biasa. Dibanding The Sigit, The Brandals lebih “garage” dalam urusan musik rock, salah satu band yang sukses mengelaborasikan antara musik nyaman ditelinga dengan lirik berkelas.

Dari seluruh lagu di album Audio Imperialist yang kelewat bagus, saya hanya akan mengulas sedikit dari satu lagu, yaitu “Komoditi Fantasi”. Lagu berani mengenai kehidupan malam ibu kota, menjadikan perempuan malam sebagai objek dalam lagu tersebut tanpa adanya kata-kata sexiest dalam liriknya. Komposisi musik yang representatif dengan tema liriknya mendukung semua menjadi satu anthem untuk kita putar saat jalan diatas roda dua, menggunakan earphone sambil sedikit mabuk akibat menenggak whiskey.

6. Komunal — Hitam Semesta

“Kami adalah band Heavy Metal terbaik di Indonesia”, ucap Doddy Hamson pada salah satu pentas Komunal, dan album Hitam Semesta membuktikan itu semua. Sebuah pernyataan, satu kalimat yang lebih dari cukup untuk mengakhiri ulasan mengenai album ini.

7. Tigapagi — Roekmana’s Repertoire

Rilis satu album, tak ada celah sedikitpun dalam setiap materinya. Selesai.

Ulasan ini mungkin tidak sedalam dan sebanding dengan para penulis yag mengulas satu album dengan tulisan panjang dan spesifik, namun ini hanya opini dan kekaguman saya atas hadirnya buku tersebut. Hormat saya kepada semua yang terlibat dalam pembuatan buku This Album Could Be Your Life berisi 50 album musik terbaik Indonesia periode 1955–2015. Dan dari tambahan beberapa album dalam tulisan ini bisa jadi This Album -Probably- Could Be Your Life (too).

--

--