iF Venue: Arus Balik Ruang Publik Bandung

Hilmy Fadiansyah
5 min readMay 1, 2021

--

Jika perlu ada idealisasi perkara ruang publik, hal yang paling representatif adalah sifat heterogen nya. Dalam artian, ruang publik idealnya tak boleh homogen atau melambangkan satu bidang, ideologi, kepentingan atau latar belakang tertentu. Tak boleh ada satu kepentingan yang dominan sebagaimana yang sering kita temui di ruang-ruang privat.

Pernyataan ini tentu rentan bantahan, karena sejak kapan pula term ‘publik’ itu harus merujuk pada banyak kepentingan? Apakah dengan hanya satu kepentingan atau tujuan tertentu sebuah ruang tak layak disebut sebagai ruang ‘publik’?

Kita ambil dari definisi yang paling mentah, misalnya: ruang publik kerap kita artikan sebagai anti-tesis dari ruang privat. Ruang-ruang yang di dalamnya sangat sarat hegemoni yang biasanya hanya punya satu kepentingan. Dengan kata lain, ruang publik adalah ruang yang dari pola aktivitas dan tujuannya berbeda dari ruang privat. Tak boleh ada hegemoni di situ

Bandung sendiri punya sejarah panjang soal ini, ruang publik yang pada perjalanannya justru lahir dari ruang-ruang privat yang bersalin rupa menjadi ruang publik, tempat di mana beragam individu dan komunitas dengan latar belakang dan kepentingan yang berbeda bertemu.

Adalah Muhammad Akbar, Andry Mochamad, dan Fahmi Ilmansyah, nama-nama yang kemudian bertanggung jawab atas terbentuknya sebuah ruang publik yang pernah muncul di Bandung pada kurun 2004–2006. Relasi pertemanan yang terbentuk atas kesamaan minat: seni visual.

Pertemanan mereka bermula saat sama-sama mengurus sebuah media bernama Retas Magazine yang dalam perjalanannya terafiliasi dengan IRM (Ikatan Remaja Muhammadiyah) di mana mereka diberi tugas sebagai pengarah grafis di media tersebut.

Tiga orang tersebut notabene adalah orang-orang yang bertanggung jawab sebagai pengarah grafis di sebuah media bernama Retas Magazine.

Di hari-hari terakhir beroprasinya Retas Magazine, dan peredaran majalahnya dinyatakan berhenti. Retas memiliki sisa bantuan dana yang tidak terpakai. Pada saat itulah para pengurus IRM — yang dalam hal ini sekaligus pengurus Retas Magazine — memutuskan untuk menggunakan dana tersebut untuk mengontrak rumah di bilangan Jalan Moch. Ramdhan yang kemudian kita kenal sebagai lokasi iF Venue bermula.

Irfan Amalee, orang yang sekaligus membawahi IRM dan Retas Magazine dalam hal ini jadi yang paling bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan. Ia memiliki pertimbangan dari segi geopolitik dan ekonomi. Dari segi geopolitik, letak tempatnya yang ia anggap sebagai lokasi strategis untuk menjalin komunikasi dengan jaringan komunitas IRM-nya. Sedangkan dari segi ekonomi: harga sewa rumah di daerah Moch Ramdhan yang menurutnya masih terjangkau, yakni sekitar Rp 7.000.000 per tahun.

Pada awalnya, kontrakan ini hanya diperuntukkan sebagai asrama anggota IRM saja, yang pada perkembangannya menjadi tempat nongkrong, di mana bertemunya para pengurus IRM dan Retas. –jelaskan acar2 yg sifatnya sporadic saat belum diresmikan-.

Seiring waktu, di rumah kontrakan itulah kemudian lahir berbagai aktivitas yang kaitannya dengan seni visual, musik, juga literasi. Tiga tema yang kemudian jadi tagline serta jati diri iF Venue: Music, Art, Literacy.

Basis Kolektif, Ruang Alternatif

Tentu, untuk menunjang operasional tempat, tak cukup dengan hanya mengandalkan sisa dana bantuan tadi yang sebagiannya sudah mereka gunakan sebagai biaya sewa. Mereka akhirnya berinisiatif untuk membuat semacam basis ekonomi penunjang agar operasional tetap berjalan. Idenya adalah membuat distro, penerbitan, dan studio musik, dengan sumber dana yang berasal dari hasil urunan uang saku pribadi masing-masing pengurus ditambah dengan sisa dana dari Retas Magazine. Basis ekonomi itu mereka beri nama: iF Corp. Inilah cikal bakal penamaan iF Venue. Yang diaktifasi juga oleh komunitas.

Sejak tahun 2004, awal mula iF Corp –yang lebih dikenal dengan sebutan iF oleh publik- dibuka secara umum. Penegasan pengurus dan pengelolaan kegiatan disusun dengan rapih, kedua pihak lebur menjadi satu ikatan yang terjalin dalam iF. Video Battle, After School Show, diskusi literasi, pemutaran film, dan berbagai kegiatan lainnya yang diinisiasi oleh mereka berhasil menarik perhatian anak muda di Bandung pada saat itu. Tak heran iF banyak melahirkan talenta-talenta yang bergerak di bidang seni, juga melibatkan banyak nama yang sudah besar untuk ikut andil dalam meramaikan kegiatan disana.

Fahmi Ilmansyah, sebagai salah satu pendiri iF, dan sempat menjabat sebagai project manager dalam kepengurusan kolektif, menjadi sosok penting dalam keberlangsungan iF. Fahmi menjembatani antara pegiat internal iF dengan individu juga komunitas di Bandung, koneksi yang dimiliki Fahmi dialokasikan terhadap aktifitas-aktifitas yang dilaksanakan oleh iF, sehingga tempat yang dikenal dengan berbagai kegiatannya tersebut dapat eksis.

Langkah cerdas yang diambil oleh pengurus iF, yang membuat ruang ‘pribadi’ menjadi sarana publik dengan berbagai akses yang dimilikinya terhitung menjadi wacana luar biasa. Karena pada saat itu, Bandung tak banyak memiliki ruang yang dapat diakses oleh berbagai lintas disiplin bidang. Tumbuh bersamaan dengan hype distro beserta komunitasnya, iF datang dengan terobosan-terobosan menarik yang jarang ditemui di beberapa tempat di Bandung. Siapa sangka hari ini musik noise menjamur? Tahun 2005, ketika gadget pun hanya sebatas sanggup SMS, mereka telah mengundang musisi ‘pengoprek’ pedal untuk tampil, dan mendapat apresiasi yang sangat baik.

Berbagai kegiatan ‘absurd’ acap kali dilaksanakan disana, berlandaskan senang-senang dengan dalih eksperimen, iF menjawab definisi dari “alternatif” sebaik-baiknya dilakukan dengan berbagai macam cara. Umed (Wildan Kamal), sebagai salah satu pengurus iF, pernah berkata bahwa terlahirnya iF merupakan sarana berkumpul dan senang-senang. Kalaupun ada clothing dan beberapa badan usaha lainnya, iF bergerak secara non-profit untuk pengurusnya, dana yang tersedia mengalir sebagai kepentingan untuk keberlangsungan kegiatan dan tempat kolektif tersebut.

Yang Terlahir dan Dirindukan

Dua tahun perjalanan iF, rentang 2004–2006 menjadi saksi Bandung pernah memiliki kolektif lintas disiplin yang sangat luar biasa. Memainkan peran sebagai fasilitator untuk bermacam-macam kegiatan, mereka berhasil ‘berjudi’ untuk menggagas wacana baru yang dapat diterima publik secara umum.

Terlepas dari itu semua, ada satu catatan penting yang menarik, tentang bagaimana iF menjadi jembatan bagi orang-orang yang datang dengan latar belakang yang berbeda, baik urusan internal maupun orang-orang yang datang. Selain peran Fahmi dan kawan-kawan lainnya dalam berjejaring dengan individu atau kolektif lain, kegiatan dan visi iF sendiri yang bisa mencairkan itu semua. Pernah terbayang bahwa organisasi formal macam IRM dapat membangun kolektif yang menjadi salah satu tonggak anak muda di Bandung? Remaja Muhammadiyah yang bekerja sama dengan kawan-kawan lain dapat melahirkan wacana populer yang dapat dikonsumsi secara umum, tanpa meninggalkan apa yang menjadi dasar mereka. Mendobrak pandangan publik tentang organisasi formal, terlebih bernaung dibawah organisasi yang berbasis agama.

Karakter masyarakat Bandung yang dikenal guyub menjadi salah satu kekuatan lahir dan bertahannya iF, tanpa harus ada ‘persaingan’ antar kolektif atau komunitas yang lain, mereka mendirikan karakter dan mempertahankan itu. Kolaborasi antar personal berhasil menjelma ruang di tepi jalan Moch. Ramdhan menjadi magnet bagi setiap orang pada saat itu, salah satu pusat ruang kreatif di Bandung, yang masih sedikit untuk dicari.

Dengan segala sepak terjangnya, iF telah berhasil membentuk standar bagaimana ruang publik dan kolektif bekerja, menjadi contoh untuk banyak individu dan kelompok yang baru akan memulai. Kemungkinan-kemungkinan yang nyaris mustahil dilaksanakan, parade kegiatan yang dilakukan, munculnya orang-orang hebat dari iF menandakan seberapa mengagumkan pola kerja mereka. Dan satu yang pasti, sejarah mencatat pernah terbentuk satu kolektif penting di Jalan Moch. Ramdhan.

--

--