Dede Harris dan Kesaksian

Hilmy Fadiansyah
4 min readMay 1, 2021

--

“Senyumlah, Nak. Pada kamera. Katakan saja kau suka rela. Demi gedung angkuh berdiri.”

Radarnya tak setenar Chrisye, tak dieluk-elukan seperti Ahmad Albar, tak memiliki massa militan setara Iwan Fals. Tetapi keberadaan Dede Harris tidak bisa tidak dicatat pada jajaran musisi berpengaruh di Indonesia, khususnya di Bandung. Seorang penyanyi balada yang eksis di periode 80’an, dengan parade musik soal kritik politik & sosial pada saat itu, yang –sialnya masih- substansial sampai kapanpun.

Pengalan lirik pada pembuka tulisan ini diambil dari lagu Dede Harris yang berjudul “Hijrah”, lagu tentang pengambilan lahan secara paksa oleh sang empunya. Kalimat “Senyumlah, Nak. Pada kamera. Katakan saja kau suka rela.” Adalah potret dari realita yang terjadi saat hunian masyarkat diambil paksa. Dede Harris tak sungkan untuk tegas dalam mengabarkan peristiwa dalam liriknya, dengan sederhana.

”Minggir, minggir, jalan menepi. Empunya negeri kan lewat sini. Hati-hati pagar berduri, jangan injak ladang Pak Wali.”

Dengan lugas dan berani, ia memakai kata-kata yang tak banyak penyanyi beserta kritik sosialnya biasa digunakan. Hanya ditemani gitar akustik, melalui tangan kidalnya ia lantunkan musik di arena kampus dan lahan aktivisme.

Seorang Iwan Fals pun berkata bahwa Dede Harris adalah gurunya, baik dalam bermusik maupun membuat lirik. Saat Iwan Fals muda sempat tinggal di Bandung, Dede Harris lah yang membina seorang Iwan Fals. Hasilnya? Iwan Fals menjadi salah satu musisi balada terbaik di Indonesia, pada masanya. Dengan puluhan, bahkan ratusan lagu mengenai kebusukan negara. Selain memang pengaruh besar dari mahaguru Abah Iwan Abdulrachman.

***

Jika Iwan Fals dijuliki sebagai Bob Dylan Indonesia, sampai sempat masuk sebagai salah satu tokoh berpengaruh di Asia yang diusung oleh majalah Times. Dede Harris mengingatka saya kepada sosok Phil Och, salah satu musisi folk Amerika dengan lirik protes terbaik. Satu generasi dengan Pete Seeger dan Woody Guthrie, Phil Och adalah legenda di tanah Paman Sam. Bersanding dengan musisi-musisi folk pada tahun 1960-an, Phil Och berada dibawah bayang-bayang nama besar, bahkan sampai dijuluki -akan selamanya- “menjadi bayangan” Bob Dylan.

Tengok lagu Phil Och yang berjudul “I Ain’t Marchin’ Anymore”, ditulis dengan latar belakang antara tahun 60–70an. Lagu ini menceritakan tentang suara para pemuda Amerika yang terjun ke medan perang, yang sudah muak melihat kematian rekan seperjuangan di depan mata kepala mereka. Imajinasi puitis mengenai kebusukan perang, dan Phil Och bernyanyi layaknya bercerita mengenai tragedi tersebut.

I marched in the battle of New Orleans at the end of the early British war / I killed my brothers and so many others, but I ain’t marching anymore.

Phil Och, yang berkarir pada masa perang Amerika, sudah merasa tak ada batas antar nyawa manusia dengan benda mati. Kutukan-kutukan dalam lagunya yang disenandungkan dengan puitis mengangkat dirinya menjadi suara rakyat, bukan suara Tuhan.

Hampir persis seperti lagu Dede Harris yang berjudul “Anak Merdeka”, ia menyindir hak istimewa para turunan aparatur negara yang memiliki kemampuan ajaib di kehidupan masyarakat. Yang paling enak, anak polisi / Dihormati oplet dan taksi // Tunduklah wahai para pengemudi / Peluitnya mengandung sangsi. Tamparan keras yang disampaikan secara halus oleh Dede Harris kepada aparatur pelindung masyarakat. Kita semua muak oleh lalu-lalang kendaraan bersirine yang arogan membuka jalan, mengusir pengendara lain agar membuka jalan untuk mereka, serasa aspal jalan umum adalah lantai marmer tempat ia tinggal. Dede Harris telah menyuarakan hal tersebut puluhan tahun yang lalu, dan tetap saja berfungsi.

Zaman ini, zaman polisi / Hati-hati ambil posisi // Zaman ini, zaman tentara / Pinjam bedil pistol negara. Bagian paling luar biasa dalam lagu ini, dinyanyikan Dede Harris diiringi sambut suara oleh mahasiswa. Berimajinasi dalam keadaan berkumpul di kantin kampus, berbicara anekdot soal kelakuan semena-mena aparat. Inilah lagu rakyat.

Dede Harris memang bukan musisi yang tampil di arus utama skena musik pada zaman itu, dari kampus ke kampus menjadi panggung utamanya. Ia tahu betul dimana ia harus menyuarakan karyanya, bukan hal yang tak dipikirkan. Tak perlu panggung besar dengan sorot lampu dimana-mana dan suara menggema dengan ribuan voltase, cukup pengeras suara sederhana dan gitar akustik, sihirnya pun dimulai. Seperti Phil Och saat berdemonstrasi keliling ke setiap sekolah tinggi di Amerika, menyuarakan penolakan terhadap perang pada saat itu.

Peran lain diluar musisi sebagai aktivis pramuka pun, ia mempraktikan hal yang sama dalam mendidik rekan-rekannya. Jabatan tinggi di keanggotaannya sebagai pramuka tak melunturkan semangat Dede Harris untuk terus mengeluarkan kritik tajam untuk pemerintah, tak memandang bendera mana yang sedang ia pijak.

Kemarahan identik dengan meletup-letupnya emosi, tetapi Dede Harris melakukannya dengan cara flamboyan. Jika ada hymne wajib ketika berkumpul bersama kawan-kawan saat membicarakan kritik sosial, lagu-lagu dari Dede Harris masuk dalam daftar putar jajaran atas.

Jika benar persepsi masyarakat bahwa musik –atau karya seni dalam bentuk apapun- tidak mengubah apa-apa, mungkin ada hal lain yang bisa bekerja pada karya Dede Harris. Lagu-lagu nya memang tak seprogresif Homicide, atau penyanyi balada lintas generasi macam Jason Ranti dengan lirik pseudo-poetry­ nya, tetapi musik Dede Harris adalah musik ‘tongkrongan’. Folk yang berarti musik rakyat diaplikasikan sebaik-baiknya oleh beliau. Tentang penggusuran, perkara rasial, timpang kelas sosial, ia ceritakan lewat lagu-lagunya dengan bahasa lugas, layaknya pemuda yang sedang bercerita di lingkaran kedai kopi.

***

Dunia bisa mengakui bahwa Bob Dylan adalah penyanyi balada terbaik di jagat raya, sampai hari ini. Layaknya Iwa Fals di Indonesia yang masih di eluk-elukan sebagai musisi dengan lagu protes sosial macam “Bongkar” dan lainnya. Dan Dede Harris adalah Phil Och, seorang guru dari Iwan Fals yang berada di bawah bayang-bayang muridnya sendiri. Perjalanan singkat Dede Harris atas karir bermusiknya bukan alasan ia tak menjadi legenda, walau namanya dibawah radar, karya-karyanya sangat melebihi perjalanan singkat dari karirnya.

Pada akhirnya, Dede Harris telah lepas dari kemuakkan nya soal lagak negara dengan segala macam ulahnya. Ia sudah benar-benar menjadi “Anak Merdeka” seutuhnya.

Oh anak-anak, mengapa bingung? Bukankah kini kita merdeka?

Oh anak-anak, tak perlu bingung. Bukankah kini kita merdeka!

Dan yang tenang-tenang, anak gelandangan, sangat bebas berangan-angan.

Sangat bebas berangan-angan.

Hidup hanya untuk mencari makan, persetan negara berantakan!

--

--